anak angkat

BAB I

PENDAHULUAN


Islam adalah agama yang universal diturunkan dimuka bumi sebagai rahmatan lilalami yang mengatur segenap tatanan hidup manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Sistem dan konsep yang dibawa Islam sesungguhnya padat nilai dan memberikan manfaat yang luar biasa kepada umat manusia keluarga dapat dilihat dari dua dimensi ilmiah, yaitu : pertama, anak sebagai buah alami (sunnatullah), hasil kekuatan rasa kasih saying suami istri ( Mu’asyarah bil Ma’ruf ) sebagai Mawaddah dan Rahmat Allah SWT untuk memperkuat bangunan hubungan rumah tangga yang rukun dan damai, bahagia dan sejahtera sesuai dengan nilai–nilai Islam. Kedua, anak sebagai penerus generasi, pelindung manakala orang tua disaat lemah dan pelanjut doa ( ritual communication ) manakala orang tuanya meninggal dunia memenuhi panggilan Khalik sebagai PenciptaNya.
Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian dari adat kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia dan telah merambah dalam praktek melalui lembaga peradilan agama, maka sebelum terbentuknya undang–undang yang mengatur secara khusus, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Definisi anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam jika diperbandingkan dengan definisi anak angkat dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun2002 tentang Perlindungan Anak, memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9 dinyatakan bahwa “ Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”.
Hal penting yang perlu digaris bawahi bahwa pengangkatan anak harus dilakukan dengan proses hukum dengan produk penetapan pengadilan. Jika hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan sebagai rekayasa sosial, maka pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui penetapan pengadilan tersebut merupakan kemajuan ke arah penertiban praktik hukum pengangkatan anak yang hidup di tengah–tengah masyarakat, agar peristiwa pengangkatan anak itu di kemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi orang tua angkat.












BAB II
PEMBAHASAN
A. SISTEM KETURUNAN DALAM ISLAM
TINJAUAN UMUM MENGENAI ANAK
Disini penulis akan mencoba memberikan definisi-definisi pengertian anak, macam-macam anak, hubungan hukum antara orang tua dan anak kepada para pembaca dengan mengemukakan pendapat-pendapat dari beberapa orang sarjana yang penulis temui
dari beberapa literatur yang telah penulis baca.
1. Pengertian Anak
Definisi mengenai anak banyak ditemui dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah anak, diantaranya adalah :
1. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, memberikan Definisi : “ Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya”.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah, memberikan definisi :
“ Anak adalah sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus dalam pembangunan bangsa dan Negara”.
3. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, memberikan definisi : “ Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan social secara utuh, serasi, selaras dan seimbang”.
4. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, memberikan definisi : “ Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya “.
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGANGKATAN ANAK
Mengangkat anak saat ini adalah merupakan hal yang wajar dilakukan bagi setiap orang. Baik bagi mereka yang belum dikaruniai keturunan ataupun yang telah dikaruniai keturunan. Karena hal ini diperbolehkan oleh Undang–Undang dan telah diatur dalam ketentuan–ketentuan hukum. Pengangkatan anak telah dilakukan dari jaman dulu, bahkan
sebelum Indonesia merdeka. Walaupun pada masa sekarang ini pelaksanaan pengangkatan anak telah jauh berkembang. Hal ini dapat dilihat dari tujuan pelaksanaan pengangkatan anak yang sudah berkembang dari tujuan semula diadakannya pengangkatan anak. Namun bila diperhatikan dari segi apapun juga, pada dasarnya pengangkatan anak mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh keturunan.
1. Pengertian Pengangkatan Anak
Pengertian pengangkatan anak yang akan penulis kemukakan disinipun penulis ambil dari beberapa pendapat para sarjana yang telah penulis baca dalam buku–buku karangan beliau. Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari kata Adoptie dalam bahasa Belanda atau adoption dalam bahasa Inggris. Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adoption of a child.18 Dalam bahasa arab disebut “tabanny” yang menurut Prof. Mahmud Yunius diartikan dengan mengambil anak angkat. Sedangkan dalam Kamus Munjid diartikan “ittikhadzahu”, yaitu menjadikannya sebagai anak. Dalam Ensiklopedi Umum sebagaimana dikutip oleh Muderis Zaeni dalam bukunya menyebutkan bahwa :
” Adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang–undangan.
Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapat pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Sedangkan dalam hukum Islam, sudah sejak zaman Jahiliyah orang Arab telah mengenal dan melakukan pengangkatan anak. Pada waktu itu Nabi Muhammad S.A.W. mengangkat anak seorang laki–laki bernama Zaid bin Haritsah. Tindakan Nabi Muhammad S.A.W. ini mendapat teguran dari Allah melalui wahyu Illahi sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an Surat Al Azhab ayat 4, 5 dan 40, yang diturunkan untuk memperbaiki kesalahan Nabi Muhammad S.A.W. dalam mengangkat anak yang disesuaikannya dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan bangsa Arab waktu itu.
Berkaitan dengan pengangkatan anak ini, Al-Qur’an Surat Al- Azhab ayat 4, 5 dan 40 menegaskan yang artinya : “ Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar “( Ayat 4 ). “ Panggillah mereka ( anak-anak angkatmu itu ) dengan memakai nama bapak-bapak meraka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi ( yang ada dosanya ) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ ( Ayat 5 ). “ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasululah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu “ ( Ayat 40 ).
Dari rumusan ayat tersebut di atas dapatlah diketahui, bahwa menurut agama Islam, anak angkat bukanlah anak kandung. Hubungan darah tidak pernah terputus antara ayah kandung dengan anak kandung. Oleh karena itu seharusnyalah si anak dipanggil menurut bapak kandungnya, sehingga oleh karena itu menurut hukum Islam tidak ada halangan sama
sekali untuk menikah antara anak kandung dengan anak angkat. Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan–ketentuan sebagai berikut : Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga;

Tujuan Pengangkatan Anak

Tujuan pengangkatan anak selain untuk memperoleh anak, mendapatkan anak yang berjenis kelamin berbeda dengan anak yang dimiliki, menolong anak yang yatim piatu dan ada juga tujuan lain yaitu untuk mensejahterakan anak dan melindunginya dari kekerasan dan diskriminasi serta memberikan kehidupan yang layak bagi seorang anak dengan memberikan perhatian dan kasih sayang. Sejalan dengan perkembangan waktu dan masyarakat nilai dari pengangkatan anak mengalami pergeseran. Pada mulanya pengangkatan anak terutama ditujukan untuk kepentingan orang yang mengangkat anak (adoptant ), tetapi untuk saat ini masalah pengangkatan anak ditujukan untuk kepentingan anak yang diangkat ( adoptandus ) yakni untuk kesejahteraan si anak. Pengangkatan anak yang ditujukan untuk kesejahteraan anak tercantum dalam Undang–Undang Republik Indonesian Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang berbunyi sebagai berikut :

a. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan ( Pasal 2 ayat (3) ;
b. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar ( Pasal 2 ayat (4);
c. Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak ( Pasal 12 ayat (1);
d. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundangundangan ( Pasal 12 ayat (3).
Undang–undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dapat disebut suatu ketentuan hukum yang menciptakan perlindungan anak sebab kebutuhan anak menjadi pokok perhatian dalam undang–undang tersebut, maka ketentuan–ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak yang berlaku di Indonesia perlu dipahami sejauh mana akan mampu melindungi kepentingan si anak.
Islam Memelihara Nasab
Anak adalah rahasia orang tua dan pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak sebagai pelanjut dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan potongan dari hatinya. Justru itu Allah mengharamkan zina dan mewajibkan kawin, demi melindungi nasab, sehingga air tidak tercampur, anak bisa dikenal siapa ayahnya dan ayah pun dapat dikenal siapa anaknya.
Dengan perkawinan, seorang isteri menjadi hak milik khusus suami dan dia dilarang berkhianat kepada suami, atau menyiram tanamannya dengan air orang lain. Oleh karena itu setiap anak yang dilahirkan dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak suami itu, tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari seorang ayah; atau pengakuan dari seorang ibu, sebab setiap anak adalah milik yang seranjang. Begitulah menurut apa yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w.
Ayah Tidak Boleh Mengingkari Nasab Anaknya
Dari sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya yang seranjang dengan dia dalam perkawinan yang sah. Pengingkaran seorang suami terhadap nasab anaknya akan membawa bahaya yang besar dan suatu aib yang sangat jelek, baik terhadap isteri maupun terhadap anaknya itu sendiri. Justru itu seorang suami tidak boleh mengingkari anaknya karena suatu keraguan, atau dugaan atau karena ada berita tidak baik yang mendatang. Adapun apabila seorang isteri mengkhianati suami dengan beberapa bukti yang dapat dikumpulkan dan beberapa tanda (qarinah) yang tidak dapat ditolak, maka syariat Islam tidak membiarkan seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut keyakinannya bukan anaknya sendiri; dan memberikan waris kepada anak yang menurut keyakinannya tidak berhak menerimanya; atau paling tidak anak yang selalu diragukan identitasnya sepanjang hidup.
Untuk memecahkan problem ini, Islam membuat jalan ke luar, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama li'an. Maka barangsiapa yakin atau menuduh, bahwa isterinya telah membasahi ranjangnya dengan air orang lain kemudian si isteri itu melahirkan seorang anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka waktu itu suami boleh mengajukan ke pengadilan, kemudian pengadilan mengadakan mula'anah (sumpah dengan melaknat) antara kedua belah pihak, yang penjelasannya sebagaimana diterangkan dalam al-Quran:
                    •                       •         i) itu
“dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar." (an-Nur: 6-9)
Mengambil Anak Angkat Hukumnya Haram dalam Islam
Kalau seorang ayah sudah tidak dibolehkan memungkiri nasab anak yang dilahirkan di tempat tidurnya, maka begitu juga dia tidak dibenarkan mengambil anak yang bukan berasal dari keturunannya sendiri.
Orang-orang Arab di masa jahiliah dan begitu juga bangsa-bangsa lainnya, banyak yang menisbatkan orang lain dengan nasabnya dengan sesukanya, dengan jalan mengambil anak angkat.
Seorang laki-laki boleh memilih anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka si anak tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama senang dan sama-sama susah dan mempunyai hak yang sama.
Mengangkat seorang anak seperti ini sedikitpun tidak dilarang, kendati si anak yang diangkat itu jelas jelas mempunyai ayah dan nasabnya pun sudah dikenal.
Islam datang, sedang masalah pengangkatan anak ini tersebar luas di masyarakat Arab, sehingga Nabi Muhammad sendiri mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah sejak zaman jahiliah. Zaid waktu itu seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam salah satu penyerbuan jahiliah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan bibinya yang bernama Khadijah, dan selanjutnya diberikan oleh Khadijah kepada Nabi Muhammad s.a.w. sesudah beliau kawin dengan dia.
Setelah ayah dan pamannya mengetahui tempatnya, kemudian mereka minta kepada Nabi, tetapi oleh Nabi disuruh memilih. Namun Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai ayah daripada ayah dan pamannya sendiri. Lantas oleh Nabi dimerdekakan dan diangkatnya sebagai anaknya sendiri dan disaksikan oleh orang banyak.
Sejak itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, dan dia termasuk pertama kali bekas hamba yang memeluk Islam.
Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Peraturan Jahiliah Ini?
Islam berpendapat secara positif, bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan terhadap realita, suatu pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan keluarganya. Dia dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahram padahal hakikatnya mereka itu samasekali orang asing. Isteri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya itu.
Anak angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerima. Oleh karena itu tidak sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan mereka ini yang merampas hak milik mereka dan menghalang pusaka yang telah menjadi harapannya. Kedengkian ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yang tidak baik, dapat menyalakan api fitnah dan memutus famili dan kekeluargaan. Justru itu al-Quran menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-lamanya serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhnya.
Firman Allah:
•               •             •    
                       •        
"Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapa-bapa mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu." (al-Ahzab: 4-5)
Baiklah kita renungkan ungkapan al-Quran yang bersih ini, yaitu kalimat: "Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu." Kalimat ini memberi pengertian, bahwa pengakuan anak angkat itu hanya omongan kosong, di belakangnya tidak ada realita sedikitpun. Perkataan lidah tidak dapat mengganti kenyataan dan tidak dapat mengubah realita, tidak dapat menjadikan orang luar sebagai kerabat, dan orang asing sebagai pokok nasab, dan tidak pula anak angkat sebagai anak betul-betul.
Perkataan mulut tidak dapat mengalirkan darah ke dalam urat dan tidak dapat membentuk perasaan kebapaan ke dalam hati seseorang, dan tidak pula mengalir dalam kalbu anak angkat jiwa kehalusan sebagai anak betul; dia tidak dapat mewarisi keistimewaan-keistimewaan khusus dari ayah angkatnya dan ciri-ciri keluarga, baik jasmaniah, intelek maupun kejiwaannya. Islam telah menghapuskan seluruh pengaruh yang ditimbulkan oleh aturan ini, misalnya tentang warisan dan dilarangnya kawin dengan bekas isteri anak angkat.
Dalam masalah warisan, karena tidak ada hubungan darah, perkawinan dan kerabat yang sebenarnya, maka oleh al-Quran hal itu samasekali tidak bernilai dan tidak menjadi penyebab mendapat warisan. Bahkan al-Quran mengatakan:
                   •     
“dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)[626] di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (al-Anfal: 75)
Dan dalam hal perkawinan, al-Quran telah mengumandangkan, bahwa di antara perempuan-perempuan yang haram dikawin ialah bekas isteri anak betul-betul, bukan bekas isteri anak
Mengangkat Anak dengan Arti Mendidik dan Memelihara
Begitulah pengangkatan anak yang dihapus oleh Islam; yaitu seorang menisbatkan anak kepada dirinya padahal dia tahu, bahwa dia itu anak orang lain. Anak tersebut dinisbatkan kepada dirinya dan keluarganya, dan baginya berlaku seluruh hukum misalnya: bebas bergaul, menjadi mahram, haram dikawin dan berhak mendapat waris.
Di sini ada semacam pengangkatan anak yang diakui oleh beberapa orang, tetapi pada hakikatnya bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu seorang ayah memungut seorang anak kecil yatim atau mendapat di jalan, kemudian dijadikan sebagai anaknya sendiri baik tentang kasihnya, pemeliharaannya maupun pendidikannya; diasuh dia, diberinya makan, diberinya pakaian, diajar dan diajak bergaul seperti anaknya sendiri. Tetapi bedanya, dia tidak menasabkan pada dirinya dan tidak diperlakukan padanya hukum-hukum anak seperti tersebut di atas.
Ini suatu cara yang terpuji dalam pandangan agama Allah, siapa yang mengerjakannya akan beroleh pahala kelak di sorga. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Rasululfah s.a.w. dalam hadisnya: "Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya”. (Riwayat Bukhari, Abu Daud dan Tarmizi)
Laqith (anak yangdipungut di jalan) sama dengan anak yatim. Tetapi untuk anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil (anak jalan) yang oleh Islam kita dianjurkan untuk memeliharanya. Apabila seseorang yang memungutnya itu tidak mempunyai keluarga, kemudian dia bermaksud akan memberikan hartanya itu kepada anak pungutnya tersebut, maka dia dapat menyalurkan melalui cara hibah sewaktu dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka, sebelum meninggal dunia.
Adapun hukum-hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam sehubungan dengan anak angkat yang berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah adalah sebagai berikut:
1. Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
                       •        
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab: 5).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat) ini (berisi) perintah (Allah Ta’ala) yang menghapuskan perkara yang diperbolehkan di awal Islam, yaitu mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang bukan anak kandung, yaitu anak angkat. Maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan mereka kepada ayah mereka yang sebenarnya (ayah kandung), dan inilah (sikap) adil dan tidak berat sebelah”4.
2. Anak angkat tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia5.
3. Anak angkat bukanlah mahram6, sehingga wajib bagi orang tua angkatnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak angkat tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Salim maula (bekas budak) Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tinggal bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka (sebagai anak angkat), maka (ketika turun ayat yang menghapuskan kebolehan adopsi anak) datanglah Sahlah bintu Suhail radhiyallahu ‘anhu, istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata: Sesungguhnya Salim telah mencapai usia laki-laki dewasa dan telah paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah biasa (keluar) masuk rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku menduga dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) akan hal tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,”Susukanlah dia agar engkau menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri Abu Hudzaifah”7.8
4. Diperbolehkannya bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri anak angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
           •         ••           •                   
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (menceraikannya). Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS al-Ahzaab: 37).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Allah Ta’ala ingin menetapkan ketentuan syriat yang umum bagi semua kaum mukminin, (yaitu) bahwa anak-anak angkat hukumnya berbeda dengan anak-anak yang sebenarnya (kandung) dari semua segi, dan bahwa (bekas) istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat mereka…Dan jika Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menjadikan suatu sebab bagi (terjadinya) hal tersebut, (yaitu kisah) Zaid bin Haritsah yang dipanggil “Zaid bin Muhammad” (di jaman Jahiliyah), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengangkatnya sebagai anak, sehingga dia dinisbatkan kepada (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai turunnya firman Allah:
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka” (QS al-Ahzaab: 5).
Maka setelah itu dia dipanggil “Zaid bin Haritsah”.
Istri Zaid bin Haritsah adalah Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha, putri bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah terlintas dalam hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika Zaid menceraikannya maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam aka menikahinya. Kemudian Allah menakdirkan terjadinya sesuatu antara Zaid dengan istrinya tersebut yang membuat Zaid mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta izin kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceraikan istrinya…(Kemudian setelah itu Allah Ta’ala menikahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha sebagaimana ayat tersebut di atas)”9.
Memanggil ‘anak atau nak’ kepada orang lain untuk memuliakan dan kasih sayang
Hal ini diperbolehkan dan sama sekali tidak termasuk perkara yang dilarang dalam ayat di atas. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukannya, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits yang shahih, di antaranya:
- Dari Ibnu Abbas radhiayallahu ‘anhuma dia berkata: Ketika malam (menginap) di Muzdalifah, kami anak-anak kecil keturunan Abdul Muththalib datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan menunggangi) keledai, lalu beliau menepuk paha kami dan bersabda: “Wahai anak-anak kecilku, janganlah kalian melempar/melontar Jamrah ‘aqabah (pada hari tanggal 10 Dzulhijjah) sampai matahari terbit”10.
- Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada: “Wahai anakku”11.12
Oleh karena itu, imam an-Nawawi dalam kitab “shahih Muslim” (3/1692) mencantumkan hadits ini dalam bab: Bolehnya seseorang berkata kepada selain anaknya: “Wahai anakku”, dan dianjurkannya hal tersebut untuk menunjukkan kasih sayang.
Adopsi menurut Hukum Positif Indonesia
Secara legal, adopsi atau pengangkatan anak dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Adopsi secara legal mempunyai akibat hukum yang luas, antara lain menyangkut perwalian dan pewarisan. Sejak putusan ditetapkan pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali bagi anak angkat, dan sejak saat itu, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih kepada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan yang beragama Islam, bila dia akan menikah, maka yang menjadi wali nikah hanyalah orang tua kandung atau saudara sedarah.
Adopsi juga dapat dilakukan secara illegal, artinya adopsi yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang mengangkat dengan orang tua kandung anak yag diangkat. Adopsi secara illegal inilah yang disinyalir sebagai celah untuk kasus jual beli anak (trafficking).
Dalam Staatblaat 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan anak yang dilahirkan anak perkawinan orang tua angkat. Akibatnya adalah dengan pengangkatan tersebut, si anak terputus hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, Oleh karena itu, secara otomatis, hak dan kewajiban seorang anak angkat sama dengan anak kandung harus merawat dan menghormati orang tua, layaknya orang tua kandung, dan anak angkat berhak mendapatkan hak yang sama dengan anak kandung orang tua angkat (Roediono, SH).
Status Anak Angkat dalam Islam
Yusuf Qardhawi, ulama kelahiran Mesir tahun 1926 yang sejak tahun 1961 tinggal Doha Qatar, dalam bukunya Halal dan Haram dalam Islam, menguraikan secara singkat perihal pengangkatan anak menurut Islam. Pada masa jahiliyah, mengangkat anak telah menjadi ‘trend’ bagi mereka, dan anak angkat bagi mereka tak beda dengan anak kandung, yang dapat mewarisi bila ayah angkat meninggal. Inilah yang diharamkan.dalam Islam.
Prof. Dr. Amir Syarifuddin dalam bukunya ‘Hukum Kewarisan Islam’ menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengenal lembaga anak angkat atau dikenal dengan adopsi dalam arti terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang tua asalnya dan beralih ke dalam keekrabatan orang tua angkatnya. Islam mengakui bahkan menganjurkan mengangkat anak orang lain, dalam arti pemeliharaan
Allah s.w.t. akhirnya menghapus budaya jahiliyah tersebut dengan menurunkan surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5: ‘Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dia-lah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapak-bapak mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu.’
Dengan turunnya ayat tersebut, maka Islam telah menghapus seluruh pengaruh yang ditimbulkan oleh aturan jahiliyah, misalnya tentang warisan dan dilarangnya kawin dengan bekas isteri anak angkat. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 75 yang berbunyi: ‘Keluarga sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian menurut Kitabullah,’ dan surat An-Nisa’ ayat 24 yang berbunyi: ‘Dan bekas isteri-isteri anakmu yang berasal dari tulang rusukmu sendiri.’
Secara panjang lebar Allah s.w.t. menjelaskan tentang halalnya mengawini bekas isteri anak angkat, yaitu ketika Rasulullah s.a.w. ragu dan takut bertemu dengan orang banyak ketika akan mengawini Zainab binti Jahsy, karena Zainab adalah mantan isteri Zaid bin Haritsah, atau dikenal dengan Zaid bin Muhammad. Hal ini sebagaimana difirmakan-Nya dalam surat Al-Ahzab ayat 37 – 40.
Pendapat Yusuf Qardhawi tersebut, diamini oleh Ahmad Asy-Syarbashi, sebagaimana dinyatakan beliau dalam bukunya Yas’alunaka, maka haramnya mengangkat anak adalah, apabila nasabnya dinisbatkan kepada diri orang tua yang mengangkatnya. Sedangkan mengangkat anak, apalagi anak yatim, yang tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah s.w.t. Hal ini sebagaimana dikatakan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi: ‘Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya.’
Laqith atau anak yang dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim, namun Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar ibn Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki yang memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.’
Dasar Hukum Pengangkatan Anak
a. Peraturan Perundang-Undangan
1. Undang-Undang Dasar 1945
- Pasal 24
- Pasal 34
2. Undang–Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
- Pasal 42
- Pasal 43 Ayat 1
- Pasal 44
- Pasal 45
3. Undang–Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
- Pasal 2 Ayat 3 dan 4
- Pasal 12 Ayat 1 dan 3
4. Undang–Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
- Pasal 55
- Pasal 57
5. Undang–Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
- Pasal 2
- Pasal 9
- Pasal 49
6. Undang–Undang RI Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
- Pasal 5 Ayat 2
- Pasal 21 Ayat 2
7. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
- Pasal 1 Angka 9
- Pasal 6
- Pasal 39 ayat 1,2,3,4 dan 5
- Pasal 40
- Pasal 41
- Pasal 42
8. Undang–Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 Terntang Admnistrasi Kependudukan.
- Pasal 47
- Pasal 48
- Pasal 90
9. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh kembali Kewarganegaraan Indonesia.
- Pasal 24
10. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1989 Tentang Pengangkatan Anak.
11. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak.
12. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.
13. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1989 Tentang Pengangkatan Anak.

b. Al-Qur’an dan Sunah.
1. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, yaitu :
- Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan ( tanda-tanda ) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf 112), ( ini adalah ) kewajiban tas orang-orang yang bertakwa ( ayat 180 ).
- Para ibu endaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keuanya ingin menyapih ( sebelum dua tahun ) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anak kamu disusukan orang lain, maka tida ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan ( ayat 233 ).
2. Al-Qur’an Surat Ali’Imran, yaitu :
- Dijadikan indan pada ( pandangan ) menurut kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis-jenis emas, perak kuda pilihan, binatang-binatang ternak 186 ) dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia ; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik ( syurga ) ( ayat 14 ).
3. Al-Qur’an Surat An-Nisaa’, yaitu :
- Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan istrinya ; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada allah yang dengan ( mempergunakan ) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan ( peliharalah ) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan megawasi kamu (ayat 1 )
- Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan abgi orang wanita ada hak bagian ( pula ) dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan
( ayat 7 ).
- Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap ( kesejahteraan ) mereka.
4. Al-Qur’an Surat Al-Maa-Idah, yaitu :
- hai orang-orang yang beriman, apabila salh seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, amak hendaklah ( wasiat itu ) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang ( untuk bersumpah ), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu :” ( Demi Allah ) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit ( untuk kepentingan seseorang ), walaupun dia karib kerabat, dan tidak ( pula ) kami menyembunyikan persaksian Allah : sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa ( ayat 106 ).
5. Al-Qur’an Surat Al-An’aam, yaitu :
- Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan alagi tidak mengetahui 513), dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rizkikan kepada mereka denagn semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk ( ayat 140 ).
6. Hadis Riwayat Bukhari Muslim
- Sesungguhnya Zaid bin Harisah adalah maula Rasullulah SAW.dan kami memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat : Panggillah mereka dengan nama ayah (kandungnya ), maka itulah yang lebih adil di sisi Allah, lalu Nabi bersabda ; “ engkau adalah Zaid bin Harisah”.
- Dari Abu Dzar r.a. bahwa ia mendengar Rasullulah SAW. Bersabda “ tidak seorangpun yang mengakui ( membangsakan diri ) kepada orang yang bukan bapak yang sebenarnya, sedangkan ia mengetahui benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barang siapa yang telah melakukan hal itu, maka bukan dari golongan kami ( kalangan kaum muslimin ) dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka.

c. Kompilasi Hukum Islam
- Pasal 98 - Pasal 99 - Pasal 100 - Pasal 101 - Pasal 106 - Pasal 171 huruf h - Pasal 209


Al-Laqith
Secara sederhana dapat dipahami bahwa al-laqith atau anak alam adalah seorang anak yang hidup, yang dibuang kelurganya karena mereka takut akan kemiskinan, atau karena lari dari tuduhan. Pengertian ini dilihat dari segi sebab anak itu dibuang. Anak tersebut dibuang disebabkan dua hal. Pertama, karena takut tidak sanggup mendidiknya dan menafkahinya, kedua, karena takut adanya tuduhan yang menyangkut harga diri. Para ulama mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang menemukan anak tersebut agar dia bisa mengasuhnya, yaitu :
1. Orang tersebut harus sudah cakap hukum ( Taklik );
2. Merdeka, maka budak tidak diperbolahkan kecuali dapat izin dari tuannya;
3. Islam ( seagama ) antara anak tersebut dengan pengasuhannya;
4. Adil.
Memelihara kehidupannya, berarti menghilangkan kesulitan semua orang, sama saja memberi kesejahteraan kepada mereka. Selain itu, anak adalah seorang manusia yang wajib dijaga jiwanya, seperti ketika ada orang yang sangat membutuhkan makanan, kita wajib membantunya, maka mengambil al-laqith lebih utama. Oleh karena itu, para ulama mewajibkan bagi yang menemukannya, untuk mengambil jika tidak ada lagi orang selain dia. Para ulama sepakat jika ada seorang muslim yang mengakui seorang anak sebagai anaknya, dan dia yakin bahwa anak tersebut bukan anak orang lain, maka nasab anak tersebut dapat dinisbahkan kepadanya atau dengan jalan menjadikannya mahram dengan cara menyusuinya sendiri. Hal ini untuk menjaga kehormatan dan memuliakan kehidupan sang anak diantara masyarakat dengan menisbahkannya dengan ayah yang diketahuinya. Ketika ditetapkan nasabnya, maka harus ditetapkan juga hak-haknya sebagai seorang anak, baik berupa nafkah, pendidikan, dan hak waris. Apabila tidak ada orang yang mengakui anak tersebut sebagai anaknya, maka dia tetap berada di tangan orang yang menemukannya. Orang tersebut menjadi walinya, dan kewajibannya mendidik, dan memberikan pengetahuan yang bermanfaat supaya anak tersebut tidak menjadi beban bagi masyarakat.
Orang yang menemukannya bertanggung jawab atas semua yang dubutuhkan anak itu. Apabila yang menemukannya tidak baik perangainya, tidak bisa mendidiknya dengan baik, atau tidak jujur atas apa yang diberikan untuk nafkah anak itu, maka anak tersebut wajib diambil darinya dan penguasa berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak tersebut.



















BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

1. Berdasarkan konsep Islam, pengangkatan seorang anak tidak boleh memutus nasab antara si anak dengan orang tua kandungnya. Hal ini kelak berkaitan dengan sistem waris dan
perkawinan. Dalam perkawinan misalnya, yang menjadi prioritas wali nasab bagi anak perempuan adalah ayah kandungnya sendiri. Dalam waris, anak angkat tidak termasuk ahli waris. Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam adalah pengangkatan anak yang bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah serta hasil ijtihad yang berlaku di Indonesia yang diformulasikan dalam berbagai produk pemikiran hukum Islam, baik dalam bentuk fikih, fatwa, putusan pengadilan, maupun peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya Kompilasi Hukum Islam ( KHI ).
2. Hukum islam menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh yang diperluas, dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab. Akibat hukum dari pengangkatan anak dalam islam hanyalah terciptanya hubungnan kasih dan sayag dan hubungan tanggung jawab sebagai sesame manusia. Karena tidak ada hubungan nasab, maka konsekuensi hukum lainnya adalah antara orang tua angkat dengan anak angkat harus menjaga mahram, dank arena tidak ada hubungan nasab, maka keduanya dapat melangsungkan perkawinan.
3. Agama Islam sangat menganjurkan perbuatan menolong anak yatim dan anak terlantar yang tidak mampu, dengan membiayai hidup, mengasuh dan mendidik mereka dengan pendidikan Islam yang benar. Bahkan perbuatan ini termasuk amal shaleh yang bernilai pahala besar di sisi Allah Ta’ala, sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Aku dan orang yang menyantuni anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya. Artinya: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 14.










DAFTAR PUSTAKA

Hamid,Abdul.2011.fiqih kontemporer,jogjakarta:arruz media
Yanggo,Huzaimah Tahido.2005.masail Fiqiyah,Bandung:Angkasa
www.muslim.or.id
majalah Amanah No. 60 TH XVIII Maret 2005 / Muharram – Shaffar 1426 H
Jhon M. Echlas dan Hasan Shadily. 1981.Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:Gramedia

Zaeni,Muderis.2002. Adopsi Suatu Tinjauan Dari tiga Sistem Hukum ,Jakarta:Sinar Grafika