Fiqh Muamalah


FIQH MU’AMALAH
1. Pengertian Fiqh Mu’amalah
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili (dalam Fiqh Muamalah Perbankan syariah, Team Counterpart Bank Muamalat Indonesia ,1999). Fiqih muamalah merupakan salah satu dari bagian persoalan hukum Islam seperti yang lainnya yaitu tentang hukum ibadah, hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata, hukum jihad, hukum perang, hukum damai, hukum politik, hukum penggunaan harta, dan hukum pemerintahan. Semua bentuk persoalan yang dicantumkan dalam kitab fiqih adalah pertanyaan yang dipertanyakan masyarakat atau persoalan yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Kemudian para ulama memberikan pendapatnya yang sesuai kaidah-kaidah yang berlaku dan kemudian pendapat tersebut dibukukan berdasarkan hasil fatwa fatwanya.
Secara bahasa ( etimologi ) Fiqih ( فقه) berasal dari kata faqiha ( فقه) yang berarti Paham dan muamalah berasal dari kata ’Amila yang berarti berbuat atau bertindak atau Al ‘amaliyyah maksudnya yang berhubungan dengan amaliyah (aktifitas), baik aktifitas hati seperti niat, atau aktifitas lainnya, seperti membaca al Qur’an, shalat, jual beli dan lainnya. Muamalah adalah hubungan kepentingan antar sesama manusia ( Hablun minannas ). Muamalah tersebut meliputi transaksi-transaksi kehartabendaan seperti jual beli, perkawinan, dan hal-hal yang berhubungan dengannya, urusan persengketaan ( gugatan, peradilan, dan sebaginya ) dan pembagian warisan.
Fiqih muamalah dalam pengertian kontemporer sudah mempunyai arti khusus dan lebih sempit apabila dibandingkan dengan muamalah sebagai bagian dari pengelompokan hukum Islam oleh ulama klasik (Ibadah dan muamalah). Fiqih muamalah merupakan peraturan yang menyangkut hubungan kebendaan atau yang biasa disebut dikalangan ahli hukum positif dengan nama hukum Private (hal qanun al madani). Hukum private dalam pengertian tersebut tidak lain hanya berisi pembicaraan tentang hak manusia dalam hubungannya satu sama lain, seperti hak penjual untuk menerima uang dari pembeli dan pembeli menerima barang dari penjual.
Dan menurut Dr. H. Hendi Suhendi, (dalam Fiqh Muamalah 2002, hal. 1 ).
Pengertian muamalah dapat dilihat dari dua segi, pertama dari segi bahasa dan kedua dari segi istilah. Menurut bahasa, muamalah berasal dari kata : sama dengan wazan : , artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan.
Sedangkan menurut istilah pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan pengertian muamalah dalam arti sempit.
Pengertian muamalah dalam arti sempit (khas) didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut :
1. Menurut Hudlari Byk. ” Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”.
2. Menurut Idris Ahmad ”Muamalah adalah aturan aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaniyah dengan cara yang paling baik”.
3. Menurut Rasyid Ridha, muamalah adalah tukar menukar barang atau suatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan. "(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah).
Dari pandangan di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fiqih muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Sedangkan Definisi muamalah dalam arti luas dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut :
Al Dimyati berpendapat bahwa muamalah adalah : ”Menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawi”.
Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”.
Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan. Dari pengertian dalam arti luas di atas, kiranya dapat diketahui bahwa muamalah adalah aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.
2. Kaidah Dasar Fiqih Muamalah
Hukum Muamalah (fiqh muamalah) yang meliputi, tata cara melakukan akad, transaksi, hukum pidana atau perdata dan lainnya yang terkait dengan hubungan antar manusia atau dengan masyarakat luas
Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut :
• Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan)
Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya.
• Konsep Fiqh Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan
Fiqh muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. Ibnu Taimiyah berkata: “Syariah diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, mengeliminasi dan mereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapa pilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat, dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil ( Mausu’ah Fiqh Ibnu Taimiyah, bahasan (maslahah/ 2).

• Menetapkan Harga yang Kompetitif
Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar), karena hal ini berpotensi menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang men-supply barang akan diberi rizki, dan orang yang menimbunnya akan mendapat laknat” (Ibnu Majah dalam al Tijarat, bab Al Ikhtikar fi al Aqwat)
Dalam hadits lain Rasul bersabda: “Sejelek-jelek hamba adalah seorang penimbun, yakni jika Allah (mekanisme pasar) menurunkan harga, maka ia akan bersedih, dan jika menaikkannya, maka ia akan bahagia” ( Jami’ al Ushul 1/595 nomor 438.)
• Meninggalkan Intervensi yang Dilarang
Rasulullah melarang untuk menumpangi transaksi yang sedang dilakukan orang lain, kita tidak diperbolehkan untuk intervensi terhadap akad atau pun jual beli yang sedang dilakukan oleh orang lain. Rasulullah bersabda: “Seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas jual beli yang sedang dilakukan oleh saudaranya”( Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam al Buyu’ bab Laa yabi’ ‘ala bai’ akhihi).
• Menghindari Eksploitasi
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, dimana Rasulullah bersabda: “Sesama orang muslim adalah saudara, tidak mendzalimi satu sama lainnya…, barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan barang siapa membantu mengurangi beban sesama saudaranya, maka Allah akan menghilangkan bebannya di hari kiamat nanti” (Diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi)
• Memberikan Kelenturan dan Toleransi
Toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingin direalisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisa dipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatan lainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan dengan memper-mudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang terkait. Karena, Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang mempermudah dalam transaksi jual beli.
• Jujur dan Amanah
Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip ini dalam kehidupan. Seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan lipstick kebohongan dalam bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahan dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan.
Kejujuran tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak memiliki nilai keimanan yang kuat. Satu hal yang bisa menafikan semangat kejujuran dan amanah adalah penipuan (ghisy). Dalam konteks bisnis, bentuk penipuan ini bisa diwujudkan dengan melakukan manipulasi harga, memasang harga tidak sesuai dengan kriteria yang sebenarnya. Menyembunyikan cacat yang bisa mengurangi nilai obyek transaksi.
3. Ruang lingkup
Ruang lingkup yang dibahas dalam fiqh muamalah ini meliputi dua hal;
1. Muamalah Adabiyah: yaitu ditinjau dari subjeknya atau pelakunya. Biasanya yang dibahas mengenai harta dan ijab qobul.
2. Muamalah Madiyah : ditinjau dari segi objeknya, Meliputi:
al Ba'i (jual beli)
Syirkah (perkongsian)
al Mudharabah (Kerjasama)
Rahn (gadai)
Kafalah dan Dhaman (jaminan dan tanggungan)
Utang Piutang
Sewa menyewa
Hiwalah (Pemindahan Utang)
Sewa Menyewa (Ijarah)
Upah
Syuf'ah (gugatan)
Qiradh (memberi modal)
Ji'alah (sayembara)
Ariyah (pinjam meminjam)
Wadi'ah (titipan)
Musaraqah
Muzara'ah dan mukhabarah
Pinjam meminjam
Riba
Dan beberapa permasalahan kontemporer (asuransi, bank dll)
Ihyaulmawat
Wakalah

4. Perkembangan dan Hubungan Fiqh Mu’amalah dengan fiqih lainnya
Dengan seiring berkembangnya manusia, banyak dan bermacam pula kebutuhan manusia sehingga Fiqh Mu’amalah turut mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan manusia, tanpa meninggalkan kaidah atau prinsip mu’amalah yang diterangkan al-Qur’an dan hadits serta ijtihad ulama.
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah. Diantaranya :
Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.